Aku sedang tidak baik-baik saja, maka dari itu aku menulis. Meskipun sama sekali tidak menimbulkan perbedaan apa pun.
Rabu, 18 April 2018, Kisah menangis sejadi-jadinya setelah tertawa selebar-lebarnya. Dia menangis karena membaca pecakapanku melalui WhatsApp dengan temanku. Tak membahas yang cukup tabu, hanya hasrat curhat dengan seorang teman yang ternyata membuahkan tangis yang panjang untuk hari yang cukup singkat.
Kejadiannya bermula saat kita ke Parangtritis. Setelah begadang semalaman karena Maiyahan, aku tertidur di gardu pandang.
Mencoba untuk mengisi lagi hal-hal yang terbuang karena semalaman tidak tidur. Dan juga melemaskan otot-otot yang ternyata juga cukup pegal. Aku tidur. Tak seperti biasanya, Kisah yang jarang membuka dan membaca-baca pesan, ternyata kok di pagi itu dia memulai aktivitas barunya. Bukannya ada yang kututup-tutupi, silahkan saja dibuka-buka dan dibaca-baca. Tidak ada percakapan yang kurang ajar. Semuanya terkontrol, menurutku. Mungkin ada satu – dua percakapan yang menggunakan panggilan seperti “Beib”, atau apalah. Itu pun ada yang ke cowok. Dan sama sekali itu bukan masalah. Aku hanya menganggapnya sebagai sebuah panggilan akrab. Sama sekali tak ada maksud lain di dalamnya. Hanya sebatas “Bro” dengan padanan kata yang sedikit berbeda.
Singkatnya, dia menemukan percakapanku dengan seorang teman cowok. Berisikan curahan hati karena kebimbanganku. Cukup menyakitkan memang (kalau ini).
Tentang percakapan tersebut, aku curhat mengenai aku dengan Kisah. Yang pada singkatnya tak menemu restu dari orang tua perempuanku. Menurutku, aku perlu untuk membicarakannya, tapi sebenarnya aku bingung tentang momentum. Apakah pas jika aku membicarakan ini? Tapi bukankah hal-hal yang lain memang perlu didiskusikan? Sengaja aku mengulur-ulur waktu untuk membicarakan tentang restu ini hanya karena aku menunggu momentum yang pas. Di mana mungkin keduanya bisa mengerti dan bisa dibicarakan dengan baik-baik tanpa harus ada yang terluka. Meskipun potensi tersebut sangat sulit, karena pasti ada respon mengenai semua tentang pembicaraan.
Rencanaku, aku mau memulai pembicaraan tersebut pas selesai Maiyahan. Entah itu waktu yang pas atau tidak, aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya punya sedikit waktu untuk membicarakan itu. Bukannya aku tak mau membuka dan membagi waktu, aku sedang berupaya untuk melalui proses tentang kebahagiaan, aku sedang berupaya tentang usahaku sendiri ; bisnis online, dan sebagainya. Sehingga waktu tersebut sangat menguras kualitas waktuku sendiri. Hanya sedikit saja waktu tersiksa, yang kuputuskan hanya untuk bermain game untuk menghilangkan penat.
Selepas Maiyahan, aku tidak lagi mau menunda lagi bahasan itu. Kita harus berdiskusi.
Ternyata setelah melewati malam yang begitu sangat amat panjang, menjelang pagi aku ingin mengurungkan sendiri niat yang kubangun. Ada beberapa alasan mengapa harus kuurungkan sendiri. Yang jelas, aku berpikir bahwa tentang tak menemu restu itu tidak boleh sampai Kisah tahu. Aku harus menyelesaikannya sendiri. Aku tak mau dia terbebani lagi. Aku hanya ingin melihat dia bahagia, syukur-syukur kalau aku ada di dalamnya.
Tetapi, entah mengapa bodohnya aku, aku lupa untuk menghapus percakapanku dengan seorang teman tadi. Dan ternyata aku juga telah me-screen – shoot percakapan tersebut. Dan sampai akhirnya, Kisah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun percakapan via WhatsApp tersebut masih mengawang cenderung jelas, tetapi Kisah sendiri yang ternyata menagih jawab dariku.
Aku tak bisa lagi mengelak, rencana yang kubangun dan kututup lagi karenanya, akhirnya harus kubuka meskipun sepertinya hasilnya tidak akan memuaskan untukku, dan khususnya untuknya.
Mak’e (sebuatan ibu untuk orang Jawa tradisional) tidak setuju dengan hubunganku dengan Kisah.
Ini sebenarnya cerita yang sangat klasik di keluargaku. Mak’e tak jarang menolak tentang apa-apa yang tidak beliau kenal. Bahkan kakakku yang sekarang telah menikah dan pernah kuceritakan juga di sini, dia juga sempat tidak disetujui untuk menikahi istrinya. Tapi ternyata sekarang baik-baik saja toh? Tapi aku berbeda dengan kakak. Aku sedikit lebih lunak, tidak berani untuk menentang apapun kehendak orang tua terkhusus Mak’e. Menurutku ada hal tersendiri yang membuat Mak’e tidak memberi restu tanpa harus aku bertanya terlebih dahulu. Tapi Kakak dulu berbeda. Kakak orangnya tegas bahkan cenderung pemberontak. Dia dulu masa bodoh saat Mak’e sedikit kurang setuju dengan calon istrinya (yang sekarang menjadi istri). Meskipun, sampai mereka punya anak pun, Mak’e sama sekali tidak masalah.
Yang Mak’e titipkan dariku untuk Kisah, adalah “Jangan terlalu serius dengan dia, tidak pantas.”
Jujur saat kudengar itu dari mulut Mak’e, aku mau protes dan berontak, dan minimal bertanya. Apa yang dimaksud “tidak pantas?” tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya memandang ke bawah sambil diam meramu kata-kata. Tapi hasilnya tetap tidak menghasilkan apa-apa. Aku hanya bisa membisu, sembari mendengar Mak’e yang terus berpetuah dengan inti yang jelas, bahwa dia tidak pantas denganku. Apa yang tidak pantas?
Menurutku, peristiwa Mak’e tersebut hanya karena beliau kurang mengenal orang baru di depannya tersebut. Dan aku juga yakin, bahwa peristiwa tersebut juga sama halnya dengan yang berlaku untuk Kisah. Pasti demikian. Aku bisa berpikir seperti itu karena Mak’e hanya pernah sekali bertemu Kisah. Sekali bertemu dan terlalu cepat memutuskan untuk jangka waktu yang lama, aku kira kurang sebegitu sepadan untuk ditakar.
Dan penjelasanku kepada Kisah, itu 100% orisinal adalah buah dari omongan Mak’e sewaktu itu. Aku hanya membicarakan ulang, tanpa harus kutambahi apalagi kukurangi.
Sebelum aku membicarakannya dengan Kisah, tentu aku tidak boleh seakan-akan langsung menghidangkannya tanpa memasak atau minimal kutaburi garam.
Aku mencoba merenung, mungkin karena ini, atau mungkin karena itu. Atau mungkin karena yang lain. Tapi tetap saja. Aku hanya menemu bahwa keputusan Mak’e tersebut hanya karena beliau belum masif mengenal Kisah. Sehingga beliau hanya memutuskan melalui mata khasyaf beliau saja.
Dan kuputuskan untuk menempuh jalur sepertiga malam, ku-ISTIKHOROH-i!
Aku mencoba untuk bertanya, tentang, apa maksud dari semua ini, Tuhan? Benarkah aku tidak pantas untuk Kisah? Atau Kisah yang tidak pantas untukku?
Aku masukkan variabel-variabel yang dirasa mungkin tentang mengapa Mak’e tidak memberikanku restu.
Alhamdulillah, sepertinya Tuhan sangat dan selalu berbaik hati kepadaku. Lewat mimpi, tanda-tanda, pola kehidupan, aku tidak menemu tentang ada yang salah dari kekhawatiran klasik orang tua tentang aku dan Kisah. Semuanya normal, bahkan aku diberikan contoh yang menurutku khusus dari Tuhan untukku agar aku benar-benar bisa belajar dan mengambil keputusan. Dan kuputuskan dari pada itu, bahwa kita tidak benar-benar bermasalah. Yang jadi sedikit bermasalah adalah aku yang kurang mengenalkan Kisah kepada Mak’e.
Tetapi, setelah finalnya firasatku, tiba-tiba aku dihantui oleh perkataan Gus Mus tentang, “semenjak saya (Gus Mus) masih mempunyai ibu, saya tidak pernah istikhoroh. Karena istikhoroh saya adalah melalui ibu saya, dan saya yakin ibu saya sependapat dengan Tuhan saya.” Kemudian, jadi tambah bingung lagi.
Aaargh.
Apa maunya?
Aku bingung!
Aku harus bagaimana dan mempercayai siapa?
Kemudian kutanya teman, setidaknya mungkin sedikit bisa membantu.
Katanya, aku dan Kisah sama sekali tidak ada masalah.
Kutanya teman lagi, jawabannya sama saja.
Tapi bagaimana dengan perkataan Gus Mus selaku guruku? Bahkan Mbah Nun di suatu waktu juga beliau tidak pernah membantah perkataan dan keinginan ibunya?
Kugodok sendiri bahan-bahan tersebut. Dan kucoba untuk menyajikannya apa adanya.
Dan sebelum kusajikan ke Kisah, aku mencoba untuk sedikit “ngobrol” dan “curhat” dengan temanku lewat WhatsApp tersebut.
Dan terjadilah pembicaraan aku dengan Kisah.
Aku mencoba untuk menjelaskannya. Untuk tetap terlihat tegar.
Aku tidak berani menatap wajahnya, aku tidak berani menatap matanya.
Aku hanya berbicara dengan menatap langit, dinding, atap, dan apa pun di sekitar kita kecuali matanya.
Aku tidak bisa, aku tidak bisa.
Sampai pada akhirnya, Kisah menangis. Tersedu-sedu. Mulai dari 2/4 cerita sampai akhir, dia tidak bisa berhenti menangis.
Aku Kasihan. Aku Kasihan, Kisah. Aku tidak bermaksud. Sama sekali tidak bermaksud.
Semua yang kulakukan hanya karena aku berbakti, lebih tepatnya ingin mencoba berbakti untuk Mak’e. Aku bisa bicara bahwa ini bukan keputusanku. Aku hanya menyalin – ulang perkataan Mak’e yang kuharap Kisah bisa berpikir. Kita. Kita bisa berpikir bersama.
Tapi Kisah lebih menyoroti kata “kalian tidak pantas” yang itu sama sekali bukan dariku.
Aku mau meralatnya, tapi aku tidak bisa.
Aku mau menjawab “Ya, aku masih,” ketika Kisah bertanya tentang masihkah aku sayang padanya.
Bagaimana aku bisa tidak sayang padanya? Bagaimana bisa aku baik-baik saja dengan semua ini? Bagaimana bisa? Tentu tak akan bisa. Aku masih dan tetap masih. Aku kehilangan dan tetap kehilangan.
Perihal jenjang selanjutnya, aku jujur belum punya jawaban sama sekali. Yang jelas sekarang aku masih mau menjadi anak kecil dulu. Karena menurutku, masa kecil dan remajaku sepertinya terlalu cepat berlalu karena aku sepertinya dewasa terlalu cepat.
Aku masih mau semuanya sesuai porsinya. Tidak terkesan terburu-buru.
Tapi kalau masihkah aku sayang padanya? Bagaimana aku bisa tidak sayang padanya?
Tapi saat itu aku hanya bisa diam.
Aku diam.
Aku tak kuasa menjawabnya. Kata-kataku ada di balik bendungku, air mataku pun mengumpul di sana. Kalau bendungan sekali saja kubuka, semuanya akan tumpah. Dan, aku tak mau kau melihat apa yang sebenarnya tidak perlu kau lihat.
Aku masih, Kisah. Aku masih. Entah kau percaya atau tidak.
Apa karena aku terlalu diam, lantas Kisah menyimpulkan bahwa aku benar-benar mau berpisah dengannya?
Aku mau buka suara, tapi aku nanti menangis. Tak elok aku menangis di hadapan Kisah. Bicara tak lebih mudah dari pada meramu kata.
Aku sedih, Kisah. Bukan kau saja yang sedih. Aku mau menangis, tapi aku malu.
Aku menahan sebulir – dua air mata agar tidak pernah lolos dari bendungku. Meskipun pada akhirnya, masih ada sebulir – dua yang ternyata sangat kuat sehingga tak bisa kubendung.
Aku menahannya dengan tetap diam dan tak bersuara meskipun kau bertanya. Aku tak bisa menjawabnya, Kisah. Aku hanya bisa merapalnya dalam batin, yang kuharap batin kita tetap satu dan terhubung.
Selepas itu, aku tak tahu lagi bagaimana caranya untuk bergerak pulang. Aku tak tahu.
Aku tak mau kau membawa beban dan tangismu sendiri. Aku masih mau mengusap air matamu, Kisah. Aku masih mau itu.
Tentu tidak mudah untuk ini, setelah sekian lama perjuanganmu, pertemuan kita, waktumu, perjalanan kita. Setelah sekian lama itu semua. Akankah harus berakhir? Seperti ini?
Dan kemudian, aku harus pulang. Setelah sekian lama dan sering kau usir. Aku harus tega membiarkanmu sementara sendiri, menangisi keadaan seorang diri. Aku harus memberimu, waktumu sendiri.
Jujur. Mengenai perjalanan pulang. Sama sekali aku tidak bisa melepas bayangmu sekali pun. Kau selalu ada. Di setiap jalan.
Aku tiba di kost-ku pun sedemikian. Maghrib-ku kacau. Terpaksa aku harus ber-wirid lebih lama dari biasanya. Aku yakin itu efektif. Meskipun pada akhirnya sama saja.
Kemudian aku ditelfon Ibuk, Kisah. Ibukmu.
Setelah sekian menit hanya mendengarmu menangis, Ibuk bertanya kepadaku yang kemudian kujawab dengan tidak ada bedanya. Hanya air mata, dan nada tangis dari seorang lelaki yang beliau sambut lagi dengan tangis yang lebih gila. Aku merasa bahwa sekarang ini akulah yang paling salah dan jahat di dunia.
Aaargh.
Satu hari, aku membuat dua wanita menangis? Ya, Tuhan ~
Aku hanya menjawab apa saja yang Ibuk tanyakan. Sama sekali sesuai dengan keadaan. Aku tak mengurangi dan melebihkannya juga.
Aku juga dinasehati, diberi opini, dan dukungan moril untuk tetap bisa berdiri. “Lanang kudu teges, Mis.” “Cobak diomongno karo dulur, sak durunge dirembug karo Mak’e.”
Aaargh.
Aku menangis. Lagi. Kutumpahkan semua yang kutahan di depanmu tadi. Bahkan untuk jama’ah Isya’ pun aku lalai. Kutebus itu dengan sholat sendiri, dan menangis lagi di atas sajadah yang pernah kau beri dulu itu. Aku terlihat lemah sekali di hadapan teman-teman kost. Aku sama sekali tidak bisa menjawab ketika mereka bertanya, “ono opo?” aku yakin mereka tahu. Aku sedang tidak baik-baik saja.
Aku menjawab “Ya, aku masih,” ketika Ibuk juga bertanya tentang masihkah aku sayang padanya. Aku menjawab itu, Kisah. Aku menjawabnya. Aku bahkan menjawab jika aku akan tanya sekali lagi ke Mak’e. Aku mau beliau meralatnya. Tapi bagaimana caranya? Maka tolong aku dengan do’a.
Dan pagi tadi, aku juga ditelfon Ibuk lagi. Beliau memberiku wejangan, menguatkanku lagi. Aku diminta untuk sementara tidak lagi menghubungimu. Beliau menyuruhku untuk membiarkanmu sendiri dulu. Aku tahu itu. Hatimu pasti sakit kan, Kisah? Ibuk tidak memaksaku denganmu. Ibuk orangnya sangat demokratis dan berjiwa muda.
Tapi aku tahu dibalik kata-kata Ibuk. Aku tahu.
Tolong berdo’a lagi, Kisah. Berdo’a lagi. Dengan sesuatu yang kuberikan padamu.
Dan sesuatu itu, sama sekali aku tak merencanakan bahkan tak kubawa khusus untukmu. Aku selalu membawanya. Dan kebetulan, sepertinya kau sangat membutuhkannya. Tolong pakai itu untuk berdo’a, Kisah. Tolong.
Entah bagaimana aku menjalani hari. Dan entah bagaimana caramu menjalani hari. Pasti sangat berat, Kisah. Sampai tulisan ini kutulis pun, aku masih tetap diam, sama seperti saat kau bertanya tentang apakah aku masih menyayangimu. Aku diam, Kisah. Aku tak kuasa membuka mulut.
Aku tak tahu Kisah akan membaca ini atau tidak. Tapi, Kisah, tetaplah tegar. Tetap selalu menjadi tegar. Maafkan aku, maafkan Mak’e. Maafkan siapa saja. Aku janji, untuk saat ini, agar lebih berani lagi untuk menego keputusan Mak’e. Akan kutanyakan ulang. Semoga do’amu diijabah, semoga segalanya segera berubah. Aku janji, Kisah. Tetaplah hidup dan tetaplah bahagia. Kalau kau berkenan, aku akan tetap menjadi sandalmu. Seperti yang kukatakan padamu sewaktu itu.