Umbu Landu Paranggi |
Cintalah yang membuat diri betah untuk
sesekali bertahan
Karena sajak pun sanggup merangkap duka
gelisah kehidupan
Baiknya mengenal suara sendiri dalam
mengarungi suara-suara dunia luar sana
Sewaktu-waktu bisa mesti berjaga dan
pergi, membawa langkah ke mana saja
Karena kesetiaanlah maka jinak mata dan
hati pengembara
Dalam kamar berkisah, taruhan jerih
memberi arti
Kehadirannya membukakan diri, bergumul dan
menyeri hari-hari
Terasa berlalu meniup deras usia,
mengitari jarak dalam gempuran waktu
Takkan jemu napas bergelut di sini, dengan
sunyi dan rindu menyanyi
Dalam kerja berlumur suka-duka, hikmah
pengertian melipur damai
Begitu berarti kertas-kertas di bawah
bantal, penanggalan penuh coretan
Selalu sepenanggungan, mengadu padaku
dalam manja bujukan
Rasa-rasanya adalah dengan dunia sendiri
manis, bahagia sederhana
Di rumah kecil papa, tapi bergelora hidup
kehidupan dan berjiwa
Kadang seperti terpencil, tapi gairah
bersahaja
Harapan dan impian yang teguh mengolah
nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
Yogyakarta, 1968
Begitulah selengkapnya puisi dari Sastrawan Sufi, Umbu
Landu Paranggi.
Pernah mendengar nama Umbu Landu Paranggi? Kalau
tidak, berarti anda belum memenuhi syarat dasar menjadi sastrawan, budayawan,
atau bahkan seniman yang mendapat acungan jempol. Kalau iya, wah, jam terbang
anda sudah mencukupi untuk membuat syair yang mungkin bisa membelokkan rudal
saat menghulu di angkasa raya.
Sebenarnya, sih, saya juga baru dengar dari salah
seorang murid beliau yang mungkin sudah tidak lagi asing di telinga kita. Yakni
Emha Ainun Nadjib yang lebih mengangkasa dengan panggilan Cak Nun. Beliau
sendiri (Cak Nun) adalah salah seorang murid yang paling disayang oleh Umbu,
meskipun memang Umbu adalah pribadi yang sangat penyayang, walau sifat
kemisteriusan beliau memang sangat membuat orang berpikir seribu kali untuk
menyatakan bahwa Umbu memang benar-benar bukan manusia biasa.
Umbu Landu Paranggi (kiri) dengan Cak Nun (kanan) |
Penuturan lainnya dari murid beliau yang mungkin
juga belum mengangkasa sebaik Cak Nun. Adalah Wayan Jengki Sunarta, seorang
sastrawan dalam bidang puisi dari pulau seberang, Bali. Mas Jengki adalah
panggilan akrabnya di dalam kemesraan yang begitu dalam, atau memang Jengki
adalah nama penanya, pun nama itu terinspirasi dari nama julukannya di masa
kecil. Mas Jengki adalah murid angkatan ke-17 dari sekolah yang dibimbing Umbu
di Bali. Mas Jengki pun menuturkan hal yang sedemikian misteriusnya dengan
penuturan Cak Nun. Memang sebenarnya selalu ada cerita yang berbeda dari setiap
murid-murid atau yang pernah dekat dengannya.
Umbu Landu Paranggi (kanan) dengan Mas Jengki (kiri) |
Demikian ulasan singkat dari seorang Umbu Landu
Paranggi. Seorang Sastrawan Sufi yang membuat orang semakin penasaran dengan
pribadinya, termasuk saya yang hanya mendengar penuturan dari orang-orang yang
pernah dekat dengannya.
Memasuki pengulikan salah satu karya dari sekian
banyak karya yang dihasilkan oleh Umbu Landu Paranggi, saya sebetulnya merasa
malu saat membaca sajak beliau. Bagaimana mungkin tidak malu, saya hanya
seorang yang mengaku-ngaku sastrawan hebat, dengan keterbatasan ilmu, dan
berani mengulik sebuah maha karya dari seorang guru besar sastra yang bahkan
saya tidak pernah mengenalnya secara langsung. Menurut saya, pemahaman puisi
adalah salah satu hal yang relatif, di mana setiap orang yang membaca pasti dan
selalu punya pemikiran yang berbeda-beda di setiap individunya. Tidak bisa
dipungkiri juga, jika proses pengulikan saya dalam karya beliau sangat tidak
memuaskan, karena saya yakin, bahwa kalian lebih pandai dan cerdas dibanding
saya dalam hal sastra ataupun hal lainnya. Namun birahi saya dalam mengulik
maha karya ini sungguh tidak bisa dibendung, entah memang itu adalah salah satu
peran ke-kritis-san saya dalam hal berpikir, atau hanya nafsu yang membuat saya
lebih terlihat seperti keledai yang bisa baca – tulis.
Dalam sajak-sajak di atas, Umbu membubuhkan
kata-kata yang simpel, namun gurih, dan renyah untuk dibaca. Dengan pengolahan
diksi yang simpel, dan mudah dimengerti, semua orang mungkin akan segera
menyimpulkan bahwa puisi ini adalah salah satu jenis puisi kamar, yaitu puisi
yang memang hanya dinikmati oleh sebuah sudut pandang. Dalam hal ini, sudut
pandang tersebut adalah sepenuhnya dimiliki sendiri oleh Umbu. Beberapa
karyanya memang kebanyakan adalah berjenis puisi kamar, karena memang sikap
Umbu yang tidak ingin terkenal dan dikenal, bahkan kamarnya terpenuhi oleh
kertas-kertas yang diduga adalah garapan puisi dari seorang Umbu.
Puisi ini dibuat di Yogyakarta, salah satu kota
indah yang memang saat ini saya tempati. Tidak semunafik itulah jika saya
melihat kota Yogya hanya dalam ruang lingkup otak saya sendiri. Kota ini memang
indah, entah apapun yang membuat indah, bahkan kota yang sudah menjadi kota metropolitan
ini sangat asri untuk ditinggali, entah itu dilihat dari sudut pandang mana
pun. Tidak semunafik itu pula Umbu menilai kota ini jika hanya dengan
ke-sentris-an dalam cara pandangnya. Beliau menuturkan di salah satu
kehidupannya, “Yogya adalah kota kelahiran keduaku”. Sangat familiar sekali,
bukan, dengan sebutan Yogya kota Istimewa? Apalagi sudah jelas-jelas sekarang
terpampang dalam berbagai seniman yang berbondong-bondong lebih mengistimewakan
kota Yogya.
Masuk lagi dalam kehangatan sajak Umbu. Di jawab
baris, Umbu sudah menuturkan bahwa cintalah yang membuat dirinya betah untuk
bertahan. Bahkan orang awam pun tahu, jika puisi ini adalah tergolong puisi
kamar, dan pembuatnya pun singgah di Yogya kemudian jatuh cinta, sudah barang
tentu jika yang dimaksud Umbu adalah bahwa memang beliau sangat cinta, bahkan
dalam artian cinta yang tak tertafsirkan kepada Yogya.
Dalam baris yang selanjutnya, beliau menuturkan
sebuah ketenangan batin, entah itu terikat dengan Yogya atau kehidupannya di
Yogya. Latar belakang Umbu juga sangat istimewa, beliau merupakan salah satu
cucu dari raja Sumba, yang lebih meninggalkan istananya demi menemukan kehidupan
baru, jalan sastranya.
“Karena sajak pun sanggup merangkap duka
gelisah kehidupan
Baiknya mengenal suara sendiri dalam
mengarungi suara-suara dunia luar sana
Sewaktu-waktu bisa mesti berjaga dan
pergi, membawa langkah ke mana saja”
Keterikatannya pada jalan sastranya, tercurahkan
secara merdu dengan penggalan sajak tersebut. Bukti bahwa memang sajak membawa
hidupnya menjadi lebih indah, meminimalisir kegelisahan dalam hidup. Dan baris
selanjutnya dan selanjutnya lagi, tentang kemesraan hidup jika tidak hanya
berdiam di satu tempat, “membawa langkah ke mana saja” merupakan
pencerminan dari seorang Umbu yang suka jalan-jalan, bukan dalam arti
jalan-jalan menikmati kesenangan, namun dalam pencarian jati diri, memahami
keindahan diri sendiri dengan sang pencipta, dan siap untuk ditempatkan dimana
saja, “membawa langkah ke mana saja.”
Bait kedua merupakan pengembangan dari bait
pertama, masih tentang Yogya jika menurut saya. “Kehadirannya membukakan
diri, bergumul dan menyeri hari-hari” Yogya seperti angin yang memainkan
anak-anak rambutnya, bergilir membelai rambut mana yang belum sempat terbelai,
dan Umbu menikmati itu, dengan ke-syukur-an-nya selama masih bisa bernafas
lega, menikmati umur yang mungkin belum sesenja sekarang. Dan memanfaatkan umur
itu semanfaat mungkin, seperti pencarian jati dirinya sehingga sampai ke ujung
Jawa sampai menyeberang ke pulau Bali.
Sekali lagi di bait terakhir, penuturannya
terhadap kehidupan bersastranya di Yogya sangat mengingpirasi banyak orang jika
memang urat-urat inspirasinya masih waras. Kehidupan di atas dan bawah Umbu
yang tercermin dalam baris pertama bait ketiga itu sangat jelas dan beliau
masih sanggup menikmati dan menjalani kehidupan itu sampai sekarang. Hingga
terbujur lemah di sela-sela kebisingan hari tua, usia senja, dan rambut berubah
warna. Di baris-baris selanjutnya, beliau sangat menyukuri kehidupan.
Bermacam-macam sesak dalam dada, beliau selalu punya pemikiran yang sangat
cemerlang, dan dengan ke-cemerlang-an-nya itu, beliau sanggup menerima segala
hikmah dari suka dan duka.
“Begitu berarti kertas-kertas di bawah
bantal, penanggalan penuh coretan
Selalu sepenanggungan, mengadu padaku
dalam manja bujukan”
Kembali ke atas, tentang keadaan kamarnya yang
berdinding kertas, dan inilah penjelasannya. Tak perlu memikir ke-tersirat-an
dalam makna, tapi sudah begitu jelas dengan tidurnya yang selalu
tar-ninabobo-kan dengan bantal-bantal kertas. Yang selalu tak bisa menjaga
kejailan tangannya dalam mengekspresikan semangatnya dalam bentuk
tulisan-tulisan. Yang abadi. Yang sejahtera.
“Di rumah kecil papa, tapi bergelora hidup
kehidupan dan berjiwa
Kadang seperti terpencil, tapi gairah
bersahaja
Harapan dan impian yang teguh mengolah
nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan”
Begitulah wasiat dari seorang Umbu. Kehidupan yang
sejahtera tak selalu hadir dalam istana yang megah dan serba mewah, bahkan di
rumah kecil Tuhan-pun ada seonggok kehidupan yang setiap individu harus
mengerti. Dan semangat pun harus tak pernah pupus dan putus, karena kadang
menurut kita kehidupan itu terpencil, tapi yang semestinya adalah kehidupan itu
benar-benar indah dan tidak kecil. Itulah rumah Tuhan, bumi yang sebegitu
kecil, tak akan jauh berbeda dengan istana yang sebegitu megah, bahkan akan
bisa menjadi ke-terbalik-an makna dari ruang kecil ke ruang besar. Percayalah,
harapan, impian, dan usaha tidak akan pernah bohong. Meskipun harus mengeluarkan
segala tenagamu, sampai nadimu membiru, dan uratmu mengencang, selama itu pun
kalian masih punya kedua tangan untuk bertindak.
Demikianlah pengulikan dari maha karya Umbu Landu
Paranggi, berhubung kopi saya sudah habis, pun demikian kata-kata saya dalam
otak yang sebegitu menipisnya.
Jarang manusia yang mempunyai sifat semesterius
Umbu, dan sejarahnya selalu renyah untuk dikulik. Namun apalah saya, yang hanya
sastrawan kecil, lemah, dan tidak tahu etika, berani menilai maha karya dari
seorang maha guru yang bahkan tak pernah mengenalnya secara langsung. Dan bila
ada kesalahan, saya mohon maaf sekali, karena itulah memang kekurangan saya,
dan kelebihan saya yang tak pernah malu terhadap kekurangan.
Wassalam.
terima kasih, mas!
BalasHapus