“Membaca tentang cinta di buku ini rasanya, J#ncuk”.
Itulah salah satu ucapan dari seorang penulis buku Dear You, Moammar Emka.
Entah mengapa beliau mengucapkan itu tentang buku ini, tapi mungkin itu lah
rasa yang terdapat dari buku ini. Cinta rasa Jancuk.
Ucapan itu lah yang terpampang jelas di wajah depan buku Jiwo J#ncuk, mungkin
juga sang penulis (Sujiwo Tejo) buku ini merasa nyaman dengan pendapat
tersebut. Sehingga memajangnya di wajah depan buku ini. Jiwo J#ncuk.
Nama yang sungguh aneh untuk kalangan sebuah buku, dengan
mengutip kata-kata yang identik dengan kata jorok ini siapa lagi penulisnya
kalau bukan penulis yang gila sekaligus ngawur, dia adalah Sujiwo Tejo. Seorang
sastrawan yang bergaya nyentrik ini selalu memunculkan ide-ide gila dari
otaknya, salah satu ide gila yang belum lama ini tercipta adalah ini, sebuah
bukunya yang diberi nama Jiwo J#ncuk.
Sekejap mata memandang mungkin berniat untuk tidak
mengulanginya. Sekecap bibir membaca mungkin berniat untuk tidak mengulanginya
lagi. Mungkin semua itu cocok dan pas dengan buku ini, buku yang menjadikan
salah satu kata kotor di daerah Jawa menjadi judul bukunya. Entah apa yang dulu berada di pikiran beliau sehingga
menciptakan buku dengan judul sedemikian rupa. Tapi bukan Sujiwo Tejo kalau
belum ngawur.
Tidak seperti namanya. Buku terbitan Gagasmedia di tahun
2012 ini sangatlah tidak sama dengan konsep sekejap dari judul bukunya. Buku
yang mungkin membuat separuh dari penduduk Jawa untuk menjauhinya. Nama yang
menjadi pedoman utama dalam pemilihan buku semoga tidak menjadi kendala utama
untuk membaca buku ini. Nama ini memang sangat tidak cocok untuk buku ini.
Kenapa demikian? Karena Indonesia sendiri yang notabene terdiri dari berbagai
macam penduduk, dan yang paling banyak adalah tentunya penduduk Jawa. Sikap
seorang penduduk Jawa yang kolot dan berkembang secara statis, mungkin sama
sekali tidak menengok sampul dari buku ini. Karena kata Jancuk sendiri adalah
salah satu kata jorok yang berada di daerah Jawa, tepatnya
di Jawa Timur. Penduduknya yang
lebih kental dengan sikapnya yang sopan dan santun mungkin mulai resah dengan
kehadiran buku ini yang dianggapnya sebagai pendidikan yang kurang baik bagi
mereka, khususnya bagi keluarga mereka. Apalagi membaca, menengok sekali lagi
pun mungkin sudah tak berkenan. Tapi itu hanya untuk orang-orang yang
berfikiran kurang eksplor dan statis, sehingga yang mereka tahu bahwa jika ada
kata-kata kotor termasuk Jancuk isinya akan lebih buruk dari pada sampulnya.
Tapi berbeda dengan orang-orang yang bisa mengeksplor dirinya dan dinamis,
mereka yang memiliki pemikiran itu akan lebih lagi terdorong dan berfikir,
mengapa yang penulis memilih judul buku ini dengan kata itu? Dan akan
membacanya lagi sampai akhirnya mereka menemukan maksud kenapa buku ini diberi
nama Jancuk.
Ini lah Indonesia, lebih mementingkan bungkusnya dari
pada esensi yang terkadungung di dalam bungkus tersebut. Tapi meskipun judulnya
seperti itu, isi di balik buku ini sangatlah cocok dan pas dengan kehidupan
saat ini, lebih tepatnya negara kita saat ini, Indonesia. Buku yang lebih
banyak menyinggung negeri kita tercinta ini sangat asik untuk dibaca, karena
isi buku ini seperti ramalan dan kejadian yang kita alami sekarang. Negara yang
sekilas indah seperti surga, laut yang kaya akan hasilnya, hutan yang separuh
menjadi nafas kehidupan bumi, sampai kehidupan binatang yang lebih eksis
dibanding manusianya sendiri. Kehidupan tikus kantor lebih banyak hadir di buku
ini dibanding kehidupan manusia seutuhnya, semuanya tertuang rapi di dalam buku
ini. Buku yang lebih suka bercerita tentang kondisi sosial, politik dan budaya
negeri kita ini sangatlah patut untuk dinikmati. Tak hanya berbicara tentang
sosial, politik maupun budaya negeri, buku ini juga mencuplik cuplikan hidup
sang penulis (Sujiwo Tejo). Bagaimana Sujiwo Tejo semasa mudanya, percintaannya
dengan seorang gadis, dan tingkah laku beliau saat masih muda sebagian
terangkum di dalam buku ini. Tentunya dengan gaya bahaya yang khas ala beliau,
bahasa kengawurannya.
Beliau sangat tahu selera baca pemuda jaman sekarang.
Semuanya lebih condong kearah baca-bacaan tentang cinta, perasaan dan hati.
Maka dari itu, beliau menghadirkan kisah nyatanya menjalin hubungan dengan
seseorang semasa mudanya dulu. “Puncak kangen yang sesungguhnya adalah ketika
sepasang kekasih tak lagi saling SMS-an, BBM-an dan bertelefon ria. Tetapi
keduanya saling mendo’akan satu sama lain”. Kira-kira seperti itu lah cuplikan tulisan
romantis Sujiwo Tejo semasa dulunya. Dan dengan tulisan itulah, kita bisa
belajar bahwa do’a lah yang bisa menyatukan semaunya, bahkan sepasang kekasih
yang berada di puncak kangennya.
Aslinya tak ada yang meragukan kebaikan tentang buku ini.
Apalagi ketika beliau sedang menjelma menjadi penyiar radio, kemudian setiap
beliau siaran selalu memutarkan sebuah lagu kesukaan gadisnya. Dan setiap malam
pula beliau memandangi rupa gadis tersebut dari samping jalan rumahnya.
Dari kisah romantis beliau menuju ke celotehan beliau
tentang negeri ini. Tidak salah jika perkataan beliau tentang negeri ini adalah
Indonesia negeri yang bobrok. Karena sesuai dengan kenyataannya, negeri ini
sekarang telah benar-benar jauh dari kata-kata makmur. Banyak uang-uang yang
terhamburkan untuk sesuatu yang kurang penting, dan lebih parahnya lagi adalah
cita-cita generasi muda kita sekarang yang awalnya banyak sekali yang
berkeinginan menjadi dokter ketika SD, guru ketika SMP, dan profesor ketika
SMA, dan sekarang sewaktu lebih besar malah ingin menjadi koruptor. Kenapa
demikian? Karena negeri ini dengan sukarela menggaji para koruptor dengan
nominal yang sangat tidak sedikit. Andaipun mereka (para koruptor) berpindah
hunian ke istana besi, mereka mendapat paket jalan-jalan ke luar negeri dan
menonton pertandingan tenis lapangan hanya dengan membayar ke penjaga istana
besi tersebut. Seperti yang teralami beberapa tahun yang lalu, seorang mafia
pajak yang seenaknya saja keluar masuk penjara hanya dengan uang.
Dengan begitu bobroknya negeri ini, sang penulis menuang
semua pemikirannya ke dalam buku yang berjudul Jiwo J#ncuk ini. Semuanya kurang
lebih sudah tertuang di buku ini. Tinggal butuh para pembaca yang terdiri dari
golongan muda saja yang sukarela membaca sekaligus merealisasikan pesan yang
disampaikan sang penulis melalui karyanya. Anda cinta Indonesia? Jika memang
benar-benar cinta Indonesia, Sujiwo Tejo telah memberikan medianya. Budayakan
membaca! Membaca segala kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita, lebih
kritis dengan apa yang tuhan telah berikan kepada kita, otak yang selalu
menanti pemiliknya untuk berfikir. Sujiwo Tejo telah membantuk kita untuk
berfikir melalui buku ini, beliau hanya tinggal mencari dan menunggu siapa yang
mau berfikir dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir. Perlu penegasan, bahwa apapun yang tertulis di sini adalah pengolahan kata dan pengembangan pemikiran dari saya pribadi.
Jangan lupa sandalnya dibawa.